Laman

Selasa, 15 Oktober 2013

Masjid Jamik Muntok

Di saat lebaran haji kemarin, tepatnya 1434H atau hari Selasa, 15 Oktober 2013 kami menikmatinya di kota kecil paling ujung sebelah barat-utara dari pulau Bangka, yaitu kota Muntok. Alhamdulillah mas Aji begitu senang diajak sholat idul adha di masjid jami' kota muntok yang memiliki nilai sejarah ini.

Keberadaan Masjid Jami’ Mentok tidak terlepas dari sejarah berdirinya kota Mentok dimana pada awal abad ke-18 pulau Bangka masih menjadi wilayah Kesultanan Palembang Darussalam.

Image

Sejarah Mentok dimulai pada kisaran tahun 1724–1725. Pada saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin I memberikan instruksi kepada istrinya (Mas Ayu Ratu) dan beberapa petinggi kerajaan untuk meninjau secara langsung wilayah yang akan digunakan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan dari negeri Siantan. Kemudian Sultan memerintahkan Wan Akub untuk mendirikan tempat tinggal keluarga kerajaan dari negeri Siantan di ujung pulau Bangka yang berdekatan dengan muara Sungai Musi.


Pada perkembangan berikutnya, setelah terbentuk komunitas kecil di daerah itu, maka disebutlah daerah itu dengan nama “Muntok” , sedangkan Tanjung yang pertama kali dilihat dan ditunjuk oleh Mas Ayu Ratu diberi nama Tanjung Kelihatan yang selanjutnya lazim disebutl “Tanjung Kelian”. Kemudian diangkatlah Wan Akub sebagai Kepala Pemerintahan di daerah yang baru dibuka itu. Atas perintah Sultan, maka untuk tahap pertama dibangun 7 (tujuh) Bubung Rumah di daerah tersebut (Muntok). Setelah pembangunannya selesai, Wan Akub diangkat menjadi Kepala Urusan Penambangan Timah yang berkedudukan di Muntok dengan gelar Datuk Rangga Setia Agama.

Sultan Mahmud Badaruddin I wafat pada tahun 1756. Pengganti beliau adalah Sultan Ahmad Najamuddin. Pada saat yang hampir bersamaan, Muntok dalam suasana berkabung pula. Menteri Rangga dan Wan Muhammad wafat. Maka, Sultan Ahmad Najamuddin mengangkat petugas kerajaan setingkat tumenggung untuk menjadi Kepala Pemerintahan di Muntok sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan Bangka. Diangkatlah Abang Pahang, salah satu keturunan Wan Abdul Hayat, menjadi Kepala Pemerintahan Bangka. Beliau diberi gelar Tumenggung Dita Menggala.

Kehadiran kolonialis Belanda di Muntok ditandai dengan pembangunan dermaga berbentuk jembatan panjang yang menjorok ke laut pada tahun 1860. Jembatan ini diberi nama Ujung Brug. Infrastruktur milik Belanda ini memudahkan arus perdagangan dan penumpang di Muntok dan sekitarnya pada masa itu.

Kemudian dibangun mercusuar pada tahun 1862 di Tanjung Kelian untuk kepentingan sistem navigasi pelayaran yang memasuki perairan Selat Bangka. Mereka menegaskan keberadaannya dengan mendirikan beberapa gedung penting di Muntok dan menjadikan Muntok sebagai pusat kota di Bangka. Diantaranya adalah Gedung BTW (Banka Tin Winning) eks Kantor Penambangan Timah Bangka yang dibangun pada tahun 1915, Rumah Residen Bangka yang dibangun pada kisaran tahun 1850-an.


Berkembangnya Muntok sebagai pusat kota di Bangka, disertai pula pembangunan masjid besar tempat peribadatan umat Islam disana. Atas prakarsa para ulama dan tokoh masyarakat pada waktu itu, dibangunlah sebuah masjid jami’ pada tahun 1883 (19 Muharam 1300 H).

Masjid tertua di Bangka ini dibangun pada masa pemerintahan H. Abang Muhammad Ali bergelar Tumenggung Karta Negara II, yang dibantu oleh tokoh masyarakat Muntok, H. Nuh dan H. Yakub.

Masjid Jami’ Muntok memiliki ukuran 21 meter x 23 meter. Tinggi masjid 6 meter, diukur dari lantai masjid yang posisinya lebih tinggi dari permukaan tanah 160 sentimeter.
Masjid Jami’ Muntok memiliki lima pintu yang mengartikan lima rukun Islam. Ketiga pintu utama masjid setinggi 2,7 meter memiliki lubang angin berbentuk kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an, Surat al-A’la mulai ayat 14 sampai ayat 19.



Sisi kanan masjid memiliki sebuah pintu yang dinamakan Pintu Beduk. Disinilah bedug besar masjid berada. Diatas Pintu Beduk terukir kaligrafi surat Al-Baqarah ayat 148. Sisi kiri masjid memiliki sebuah pintu dengan ukiran kaligrafi berbeda. Terpahat Surat at-Thalaq ayat 2 pada bagian atas pintu. Kaligrafi pintu ini baru ada pada saat renovasi masjid beberapa tahun kemudian setelah diserang tentara Jepang.

Kaligrafi mihrab masjid bertuliskan Surat Ali-Imran ayat 37. Kaligrafi mihrab menjadi satu-satunya kaligrafi yang tersisa setelah peristiwa penyerbuan tentara Jepang di Muntok. Beberapa pasukan Jepang menjarah beberapa kelengkapan masjid. Selain mihrab, mimbar masjid tua tersimpan dengan baik. Mimbar tua memiliki ornamen ukiran dedaunan. Bentuk mimbar lebih ramping dari mimbar yang digunakan sekarang.

Enam buah pilar di depan masjid merupakan perpaduan gaya Doria dan Lonia, bentuk pilar yang dapat ditemui pada gedung-gedung buatan arsitek Belanda. Enam pilar didesain rendah sehingga nampak anggun dan menimbulkan kesan ramah bagi peziarah masjid. Jumlah pilar masjid bermakna rukun Iman.

Lantai masjid terbuat dari marmer dengan ukuran besar, satu meter persegi. Lantai marmer yang sejuk membuat suasana menjadi sangat nyaman. Para jama’ah atau peziarah menjadikan masjid ini sebagai tempat peristirahatan sejenak.

Ruang utama masjid berukuran 17 meter x 17 meter. Memiliki empat tiang utama yang menjadi soko guru, simbol empat madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Pada salahsatu sudut ruang utama masjid, terdapat tangga sederhana menuju lantai dua.


Atap masjid ditopang oleh empat tiang yang terbuat dari kayu hitam. Sumbangan dari salah satu Mayor berkebangsaan Cina. Melalui satu undakan atap, adalah ruang anjungan yang menjadi puncak masjid. Luas anjungan 4,3 meter x 4,3 meter. Pada setiap sisinya memiliki empat tingkap utama. Pada setiap tingkap utama terdapat tingkap – tingkap kecil berjumlah tujuh belas yang melambangkan jumlah sholat wajib sehari semalam. Melalui tingkap – tingkap kecil ini panorama kota Muntok terlihat dengan jelas.

Letak Masjid Jami’ Muntok berdekatan sebuah kelenteng yang lebih tua 83 tahun dari usia masjid. Hal ini menjadi sebuah pelajaran penting dan sangat berharga terhadap perjalanan panjang masyarakat Muntok di masa lalu yang terbuka dan menerima perbedaan. Bagi kita, inilah makna dari sebuah toleransi yang diajarkan para pendahulu.
sumber: mentokbangka.wordpress.com
sumber foto: koleksi pribadi & google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar